
https://www.antaranews.com
Ahli Warta – Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, menyarankan agar Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan pada level 6% dalam rapat Dewan Gubernur bulan ini. Menurutnya, langkah ini diperlukan untuk menanggulangi tekanan yang terus menerus membebani nilai tukar rupiah.
Riefky menjelaskan bahwa tekanan terhadap rupiah semakin besar seiring dengan kekhawatiran pasar mengenai potensi kenaikan tarif impor barang dari Amerika Serikat (AS) yang akan diterapkan pada pemerintahan yang dipimpin oleh Donald Trump. Kebijakan tersebut dapat memicu arus modal keluar yang lebih besar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Data terbaru menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami arus keluar modal sebesar 750 juta dolar AS atau sekitar Rp12,02 triliun sejak pertengahan November 2024.
Arus keluar tersebut terdiri dari dua bagian utama, yaitu sekitar 350 juta dolar AS (Rp5,6 triliun) yang berasal dari aset obligasi pemerintah dan 400 juta dolar AS (Rp6,4 triliun) dari pasar modal domestik. Riefky mengungkapkan bahwa sebagian besar arus keluar modal ini dipicu oleh ketidakpastian terkait kebijakan perdagangan AS, yang mempengaruhi sentimen investor terhadap pasar Indonesia.
Lebih lanjut, ia juga mencatat bahwa aksi jual yang dilakukan oleh investor asing di pasar obligasi Indonesia menunjukkan adanya kekhawatiran terhadap prospek jangka pendek ekonomi Indonesia. Sebagai contoh, imbal hasil obligasi jangka pendek Indonesia dengan tenor satu tahun mengalami lonjakan signifikan, dari 6,33% pada 19 November menjadi 6,74% pada 13 Desember 2024. Sementara itu, imbal hasil obligasi dengan tenor 10 tahun hanya mengalami sedikit kenaikan dari 6,93% menjadi 7,05% dalam periode yang sama.
Selain itu, aliran modal keluar yang terus meningkat dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, turut menyebabkan depresiasi terhadap mata uang negara-negara tersebut. Indeks dolar AS (DXY) tercatat naik dari 103,42 pada awal November menjadi 106,94 pada pertengahan Desember 2024. Dalam periode yang sama, rupiah mengalami depresiasi sebesar 1,39% month-to-month (mtm), dari Rp15.770 per dolar AS menjadi Rp15.990 per dolar AS.
Meskipun begitu, Riefky mencatat bahwa performa rupiah masih relatif moderat pada tahun 2024 dibandingkan dengan mata uang negara berkembang lainnya. Dengan tingkat depresiasi sebesar 3,86% year-to-date (ytd), rupiah menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan beberapa mata uang lain seperti peso Filipina, rubel Rusia, lira Turki, real Brasil, dan peso Argentina. Namun, rupiah mengalami depresiasi yang lebih dalam dibandingkan dengan mata uang negara-negara seperti yuan Tiongkok, rupee India, baht Thailand, rand Afrika Selatan, dan ringgit Malaysia.
Menghadapi tekanan ini, cadangan devisa Indonesia tercatat mengalami penurunan sekitar 1 miliar dolar AS (Rp16,03 triliun), dari 151,2 miliar dolar AS (Rp2.423,4 triliun) pada Oktober 2024 menjadi 150,2 miliar dolar AS (Rp2.407,4 triliun) pada November 2024. Penurunan tersebut disebabkan oleh intervensi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan pembayaran utang luar negeri pemerintah Indonesia. Meskipun demikian, posisi cadangan devisa Indonesia masih berada pada tingkat yang cukup tinggi, setara dengan pembiayaan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, yang jauh melebihi standar kecukupan cadangan devisa internasional, yaitu sekitar tiga bulan impor.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia, terutama dalam hal stabilitas nilai tukar rupiah dan arus modal keluar, Riefky berharap Bank Indonesia dapat mempertahankan kebijakan suku bunga acuan yang stabil. Langkah ini diharapkan dapat membantu meredakan tekanan terhadap rupiah dan menjaga kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.