26 April 2025
Kenaikan PPN 12 Persen pada Layanan Kesehatan Premium: Etika, Dampak, dan Tanggapan ARSSI

https://www.antaranews.com

Ahli Warta -Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) menyoroti kebijakan pemerintah terkait pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada layanan kesehatan premium. Kebijakan yang diumumkan Kementerian Keuangan ini dianggap perlu dikaji lebih mendalam, terutama mengenai definisi “premium” dan dampaknya terhadap etika pelayanan kesehatan. Ketua Umum ARSSI, Iing Ichsan Hanafi, menyampaikan bahwa kenaikan PPN ini akan membawa perubahan besar dalam struktur biaya layanan kesehatan.

Dalam pernyataannya di Jakarta, Selasa, Iing menjelaskan bahwa kenaikan pajak sekecil satu persen saja dapat memengaruhi harga akhir hingga 20 persen. Hal ini mengkhawatirkan karena sebelumnya layanan kesehatan tidak dikenakan pajak. Dengan penerapan pajak baru ini, potensi kenaikan biaya layanan kesehatan menjadi perhatian utama, terutama bagi pasien yang bergantung pada BPJS atau layanan kelas menengah ke bawah.

Iing juga menyoroti pentingnya kajian etika dalam kebijakan ini. “Orang yang sedang sakit membutuhkan pelayanan medis, apakah pantas jika dalam situasi seperti itu dikenakan pajak? Apakah ini melanggar hak asasi manusia?” ungkapnya. Menurut Iing, ada pertanyaan besar mengenai keadilan bagi pasien BPJS yang memilih naik ke kelas VIP. Meski mendapatkan layanan VIP, pasien BPJS tetap dibatasi oleh plafon tarif BPJS yang berlaku. Dengan tambahan PPN 12 persen, beban biaya akan semakin memberatkan mereka.

Selain itu, Iing mempertanyakan bagaimana keadilan dalam pentarifan yang sama untuk semua pasien, terlepas dari jenis layanan yang mereka gunakan. Dalam sistem BPJS, tarif yang dibayarkan rumah sakit bersifat paket atau flat, tanpa memperhitungkan tambahan layanan khusus seperti VIP. Dengan pengenaan PPN, akan timbul ketidakseimbangan antara biaya yang dikenakan pada pasien dan tarif yang dibayarkan oleh BPJS.

Lebih lanjut, jika kebijakan PPN ini tetap diberlakukan, ARSSI mengusulkan agar pajak hanya diterapkan pada tarif kamar VIP, sementara obat-obatan dan alat kesehatan dikecualikan dari pajak tersebut. Menurut Iing, obat-obatan dan alat kesehatan merupakan kebutuhan utama pasien yang tidak seharusnya dibebani dengan tambahan biaya pajak.

ARSSI juga menyampaikan keberatan resminya kepada pemerintah. Organisasi ini berencana memberikan masukan tertulis kepada pihak terkait untuk menyampaikan dampak potensial dari kebijakan ini, baik terhadap rumah sakit maupun pasien.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kebijakan PPN 12 persen ini diterapkan pada barang dan jasa yang dikategorikan sebagai premium. Kebijakan ini, menurut Sri Mulyani, bertujuan untuk menciptakan asas keadilan dalam sistem perpajakan. Barang dan jasa premium dianggap sebagai konsumsi kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi, sehingga layak menjadi objek pajak tambahan.

Empat kategori barang dan jasa premium yang menjadi objek PPN meliputi bahan makanan premium, seperti beras berkualitas tinggi, buah-buahan impor, daging wagyu, ikan salmon, dan king crab. Kategori kedua adalah jasa pendidikan premium, seperti sekolah-sekolah dengan biaya ratusan juta rupiah. Ketiga, layanan kesehatan premium yang mencakup pelayanan kesehatan dengan standar tinggi. Terakhir, PPN juga dikenakan pada layanan listrik rumah tangga dengan kapasitas 3.500 hingga 6.600 VA.

Meski pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini mencerminkan asas keadilan, ARSSI memandangnya dari sisi yang berbeda. Dalam konteks kesehatan, pengenaan pajak dianggap tidak etis karena menyangkut kebutuhan mendasar manusia. Menurut Iing, layanan kesehatan bukan hanya soal kemewahan, tetapi juga tentang hak dasar setiap individu untuk mendapatkan perawatan yang layak tanpa beban tambahan yang memberatkan.

Selain itu, dampak kebijakan ini dapat dirasakan langsung oleh rumah sakit, terutama rumah sakit swasta yang mengelola pasien BPJS. Dengan tambahan pajak pada layanan VIP, rumah sakit harus menyesuaikan biaya operasional mereka, yang dapat memengaruhi kualitas layanan secara keseluruhan.

ARSSI berharap pemerintah dapat mengevaluasi kembali kebijakan ini dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk rumah sakit, pasien, dan organisasi terkait. Dengan pendekatan yang lebih inklusif, kebijakan perpajakan di sektor kesehatan dapat dirancang lebih adil tanpa mengorbankan hak pasien untuk mendapatkan pelayanan yang layak.

Melalui pengkajian ulang, ARSSI optimis bahwa kebijakan ini dapat disesuaikan sehingga tidak hanya mempertimbangkan sisi fiskal, tetapi juga etika dan kebutuhan masyarakat. Sebagai sektor yang berperan penting dalam kehidupan masyarakat, kesehatan seharusnya menjadi prioritas bersama yang tidak dibebani dengan kebijakan yang justru memberatkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *